Detail Berita

TRAGEDI 1999 (Bagian 3)

Senin, 14 Maret 2022 10:18 WIB
204 |   -

(Ibu Diana Maria Adriana; Guru Bahasa Indonesia di SMPK St. Aloysius Niki-Niki.Ia terkenal dengan nama pena: KRIWULITA. Ia adalah lulusan Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia banyak menulis cerpen dan puisi serta kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisannya akan dipublikasikan dalam berita sekolah ini. Kiranya mengispirasi para pembaca, terutama peserta didik agar bisa mengembangkan bakat menulis)

***

Hari ini aku bangun lebih pagi. Sudah dua hari ini tubuhku tak mendapatkan siraman air. Badanku sepertinya terbakar. Dek yang kami tempati seakan bersentuhan langsung dengan sinar matahari. Setelah sarapan pagi seperti biasa, aku meminta izin untuk berkeliling kapal yang membawa kami. Jiwa berpetualangku mulai meronta-ronta. Awalnya Ibu tak mengizinkanku. Ia takut aku nyasar karena kapal itu cukup besar dan tak ada kenalan atau keluarga yang ikut dalam perjalanan kami. Namun, setelah melalui perundingan yang cukup panjang,  akhirnya Ibu memberi lampu hijau dengan syarat harus ditemani kakakku.

Kami mulai menjelajahi setiap sisi dari kapal itu. Di bagian dapur, aku melihat orang-orang sedang sibuk menyiapkan makan siang. Masing-masing menyelesaikan bagiannya. Para koki berseragam senada dengan memakai cadar putih di kepalanya itu bekerja dalam diam. Tangan-tangan mereka seakan begitu lincah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan itu. Kuakhiri pengamatanku. Kami berkeliling lagi. Mataku yang penasaran mendapati pria-pria bertubuh kekar, memegangi senjata laras panjang sedang patroli. Wajah mereka seakan tak bersahabat. . Kuurungkan niatkan untuk mengamatii aktivitas mereka lebih jauh.

“Aku mau ke kamar mandi !” ujarku pada lelaki yang setia mengikuti ke mana pun kakiku melangkah .

“Sini, ikut aku!” ujarnya menarik tanganku seakan ingin membawaku pergi jauh dari tempat itu.

“Jangan pernah mendekati orang-orang tadi!” ujarnya kemudian.

“Kenapa?” balasku

“Jangan banyak tanya!” ujarnya dengan nada naik satu oktaf.

Kami berjalan dalam diam. Dia tetap memegang tanganku. Aku tetap mengikutinya dari belakang. Sampai di kamar mandi, ia melepaskan tanganku dan menyuruhku turun.

“Setelah pintu terbuka, kami menuruni anak tangga yang kurang lebih satu meter setengah. Tangga-tangga itu terbuat dari besi yang begitu kuat dan kokoh. Setelah kakiku mendarat di ujung lantai, kulihat ada ruangan-ruangan yang merupakan kamar mandi itu. Kulihat orang masuk-keluar dari bilik-bilik itu. Kami hanya saling menatap tanpa banyak kata. Ada juga petugas kebersihan di sana. Mereka bekerja dalam diam.

“Ayo, cepat!” ujarnya padaku yang masih asik dengan pengamatanku.

Aku memasuki satu bilik. Kuputar kerannya. Airnya begitu deras dan muncrat di wajahku. Kurasakan air itu,  rasanya asin seperti air garam. Rasa air yang asin itu seakan menjadi alarm pengingat akan kenangan di bumi yang kutinggalkan. Tiba-tiba aku merindukan bumiku. Aku si gadis pesisir yang selalu menghabiskan waktu di pantai. Ketika air laut surut, kami berbondong-bondong menuju laut. Mencari lauk untuk makan malam. Aneka …kami akan dapatkan. Tua-muda semuanya mengambil posisi di sepanjang pesisir pantai. Dengan alat seadanya mulai melakukan ritual untuk menangkap segala jenis biota laut yang ditemukan. Kami berkejar-kejaran di tepi pantai. Membuat istana dari pasir. Mengali pasir sedalam mungkin, lalu mengubur sebagian tubuh kami sambil menunggu senja memudar. Semua kisah itu seakan menunjukkan wujudnya.

“Nona. Sudah selesai” terdengar suara kakakku.

“Sedikit lagi” jawabku.

Kuselesaikan rutintasku. Perlahan kubuka pintu. Aku mencari sosok yang memanggil namaku. Ia berdiri di bawa tangga itu. Tatapannya menjurus ke arahku. Ia tak banyak tanya. Ia mungkin merasakan hal yang sama denganku. Ia tetap mengawasiku. Kami kembali ke dek dengan perasaan yang masih diselimuti rasa rindu.

***

Setetah empat hari, tiga malam akhirnya kami tiba di negeri yang Ibu janjikan. Negeri yang terasa asing bagiku. Negeri yang menjadi tempatku memulai cerita hidupku. Kota yang dikenal dengan gugusan karangnya yang membuatnya mendapat julukan “City of Coral” atau Kota Karang itu akan menjadi saksi perjalanan kisahku yang baru. Ketika tiba di pulau itu, kulihat lautan manusia di atas pelabuhan. Orang-orang itu sibuk dengan urusan masing-masing. Aku masih setia berada di samping Ibu. Ibu yang tengah hamil tua itu tak mampu bergerak banyak. Kami hanya duduk dan memerhatikaan ribuan orang yang tengah mengumpulkan barang bawaan mereka.

Kulihat hamparan laut luas membentang. Mentari pagi yang cukup panas tidak berhasil menghentikan aktivitas orang-orang itu. Kulihat bulir-bulir keringat berlomba menuruni tulang pipi mereka. Ayah dan Kakakku juga tengah sibuk mengumpulkan barang bawaan kami. Dari kejauhan nampak jelas mereka sedang mencari sesuatu yang hilang. Aku dapat menangkap kekecewaan di wajah Ayah.

“Sial, satu karung kita diambil orang.” caci Ayah ketika tiba di dekat kami.

“Karung itu isinya apa?” tanya Ibu.

“Baju-baju Nona.” balas Ayah sambil menatapku merasa bersalah.

Aku hanya menunduk sedih. Aku tak memiliki pakaian selain yang kukenakan.

“Mengapa harus baju-bajuku?” batinku.

Semua baju-baju itu punya kenangan. Walaupun ada yang sudah sobek, tetapi aku menyayangi baju-baju itu. Aku kehilangan semua kenangan masa kecilku. Haruskan aku melupakan kenangan itu?

“Jangan bersedih sayang! Nanti kita belikan yang baru.” ujar Ibu berusaha menghiburku.

Ibu begitu paham dengan perasaanku. Ibu tahu, aku begitu menyukai baju-baju itu. Baju-baju itu telah melalui seleksi sebelum masuk dalam list barang-barang bawaan kami. Sudah sejauh ini, baju-baju itu ikut dalam perjalanan kami. Namun, haruskan kami berpisah dengan cara yang konyol seperti ini. Sungguh, takdir tak berlaku adil padaku. Aku sibuk dengan perasaanku.

Tiba-tiba terdengar suara patroli polisi memasuki area pelabuhan yang luas. Kulihat dereta mobil patroli itu seperti barisan tentara berjejer rapi. Begitu rapi. Tak lama kemudian, suara komando bergema, memerintahkan kami untuk menaiki mobil-mobil patroli itu.

Kami menaiki mobil patroli itu dalam diam. Kami akan di bawah ke tempat pengungsian. Ya, begitulah informasi yang disampaikan salah satu komando pasukan. Ada banyak tanya yang berseliweran di otakku. Namun, aku tak tahu harus menanyakan kepada siapa. Setiap orang sibuk dengan pikirannya, begitu pun aku.

***


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini