Detail Berita

TRAGEDI 1999 (Bagian 2)

Rabu, 9 Maret 2022 20:43 WIB
271 |   -

(Ibu Diana Maria Adriana; Guru Bahasa Indonesia di SMPK St. Aloysius Niki-Niki.Ia terkenal dengan nama pena: KRIWULITA. Ia adalah lulusan Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia banyak menulis cerpen dan puisi serta kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisannya akan dipublikasikan dalam berita sekolah ini. Kiranya mengispirasi para pembaca, terutama peserta didik agar bisa mengembangkan bakat menulis)

 

Aku terjaga dari lelapku, ketika mendengar suara berisik orang-orang di sekitarku. Kukucek mataku dan lihat langit mulai terang. Matahari mulai menampakkan diri. Beberapa orang dengan berseragam loreng membawa senjata berlaras panjang sedang menginterogasi seorang wanita muda. Ibu yang melihatku terbangun, mendekapku begitu erat. Ayah dan beberapa orang lainnya hanya diam. Penghuni dek itu seperti penonton sebuah lakon drama tragedi. Hanya bisa merasa iba tanpa bisa melakukan apa-apa. Wanita muda itu terus saja menangis sambil memeluk bayinya. Ia seakan bersitegang dengan para prajurit itu. Tangisnya semakin pecah ketika seorang pria bertubuh kekar mengambil paksa bayi dalam dekapannya. Air mata Ibu pun luruh seketika menyaksika adegan itu.

“Mama, apa yang terjadi?”

Ibu hanya memberi isyarat agar aku tak mengajukan pertanyaan lainya. Aku si gadis kecil yang memiliki rasa ingin tahu yang begitu tinggi terkadang membuat Ibu, Bapak dan saudara-saudara kehabisan akal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan. Ibu mendekapku lebih dalam, sedalam perasaannya yang terluka.

“Jangan ambil anakku!” sebuah teriakan seakan begitu lantang menggema. Wanita muda itu seakan dirasuki setan. Bola matanya mulai membesar, membentuk satu lingkaran. Ia berusaha melawan pria-pria berbadan tinggi itu. Para pria berseragam loreng tak memedulikan teriakannya. Mereka terus saja melangkah, menjauhi wanita muda itu. Beberapa orang berusaha menenangkan si wanita muda, tetapi si wanita muda tetap meronta. Ia berusaha menghentikan langkah para prajurit, tapi apa daya ia tak punya kekuatan untuk melakukannya.

“Ibu harus ikhlas! Bayi Ibu sudah meninggal!” ujar seorang perawat.

“Tidak! Bayiku hanya sakit demam. Dia tidak meninggal. Dia hanya tertidur” teriaknya dengan suara yang hampir tak terdengar.

“Jenazah anak Ibu harus diotopsi.” lanjut perawat.

 “Anakku tidak meninggal!” ujarnya histeris.

“Kelahiran dan kematian bukanlah kehendak kita, melainkan kehendakNya. Kini ia telah menjadi malaikat kecil di surga. Ikhlaskan!” Perawat itu berusaha menenangkannya.

“Tuhan baru saja mempertemukan kami. Tapi kenapa Dia mengambilnya kembali?”

“Itulah misteri hidup kita. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi hari esok!”

“Jenazah anak Ibu harus diberi formalin karena dua hari lagi baru kita sampai darat.” tambahnya.

Kulihat seorang wanita paru baya juga berusaha menenangkan wanita muda itu. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek sedikit berbeda. Tak lama hanya terdengar suara tangisnya yang mulai melemah. Ibu muda itu melahirkan secara prematur bayinya di dalam kapal yang membawa kami. Bayinya meninggalkan karena kurang mendapat penanganan medis. Bayinya meninggal di hari kedua setelah dilahirkan. Namun, ia menyembunyikannya dari keluarga dan para penghuni kapal. Akhirnya, bau mayat tercium dan petugas terpaksa mengambil jenazah anaknya.

Wanita muda itu akhirnya mengikhlaskan kepergian anaknya. Setelah jenazah bayinya diotopsi dan diberi formalin, pihak keluarga melakukan ibadah penghiburan dan akan dilakukan upacara pemakaman ketika tiba di darat.

Kulihat Ibu terus saja menangis sambil mengelus perutnya. Aku dapat menangkap ketakutan di wajahnya.

“Ibu dan adik kecil akan baik-baik saja.” ujarku seraya memeluknya erat.

Ibu menatapku begitu dalam. Dapat kurasakan getaran cinta dari tatapan Ibu. Begitulah cinta seorang Ibu. Tak dapat dijelaskan dengan rangkaian kata, hanya lewat tatapan mata namun dapat menansfer energi cinta yang begitu dasyat.

Malam ini langit begitu terang. Bulan bintang seakan tersenyum padaku. Dari pembaringan aku dapat melihat galaksi terlihat begitu dekat dan jelas. Angin meliuk-liuk berhembus pelan dan tenang. Ini malam kedua kami di atas kapal yang membawa kami. Aku sudah tak merasakan pusing lagi. Dua hari ini mengajarku banyak hal. Aku belajar ikhlas menerima keadaan. Berbeda denga Ibu yang masih saja terus murung. Ia tak banyak berbicara. Ayah dan Kakak setiap hari pergi ke tempat penapungan barang dan mengecek barang-barang bawaan kami sambil mencari-cari mungkin ada keluarga kami yang ikut dalam perjalanan ini. Pikiranku mulai mengembara ke duniaku yang baru saja berganti. Aku merindukan bumiku. Bumi tempat aku dilahirkan. Bumi yang memberiku kehidupan. Alamnya yang bersahabat. Sahabat kecil yang tak pernah lelah berbagi kisah hidup kami yang sederhana. Setiap pulang sekolah kami akan pergi ke hutan, mencari kayu bakar untuk keperluan memasak di rumah. Jam pulang sekolah adalah waktu yang paling menyenagkan. Banyak hal yang dapat kami lakukan bersama. Terkadang kami mengumpulkan batu untuk dijual. Batu-batu karang itu kami kumpulkan secara berkelompok. Ketika tingginya sudah mencapai satu meter, para pencari batu dengan truk-truk besar datang untuk membeli. Setiap satu tumpukan dihargai dengan 5.000,00. Nominal yang cukup besar kala itu. Kami akan membagi hasilnya secara mereta. Dari hasil penjualan itu kami dapat membantu agar dapur kami tetap mengepul. Adakalanya kami pergi ke bekas bangunan penjajahan Jepang. Banguna-bangunan itu hanya tinggal puing-puingnya. Kami mulai mengali sedalam yang kami bisa. Kami seperti pencari harta karun. Terkadang kami menemukan gelas-gelas antik. Bentuknya kecil dan tak mudah pecah. Gelas-gelas itu seperti barang berharga bagi Ibu. Ibu akan meyimpannya di tempat yang tak bisa dijangkau tangan-tangan nakal kami. Ada kalanya, kami pergi ke sebuah Sekolah Menengah Atas yang tak jauh dari rumah. Itu satu-satunya SMA di kotaku. Kami memasuki setiap ruang kelas yang tak terkunci itu. Memeriksa setiap kolong meja seperti pencuri yang tengah beraksi, takut tertangkap basah. Biasanya kami menemukan buku-buku tulis atau bulpoin yang tertinggal di sana. Barang-baramg itu akan menjadi hak milik kami. Adakalanya kami saling mengajak ke alun-alun kota. Di sana ada sebuah pohon yang meyerupai pohon beringin. Tunas-tunas muda dari pohon itu bisa diolah menjadi sayur yang enak. Ada kalanya kami mengambil daun kelor yang tumbuh liar di hutan sebagai menu makan malam kami. Kami tak pernah membeli sayur. Sebidang tanah depan rumah, kami olah menjadi kebun sayur. Di kebun itu, kami tanami berbagai jenis sayur. Tak hanya untuk dimakan tapi kami juga menjualnya untuk membeli keperluan dalam. Kepingan-kepingan kisah itu seakan membentuk satu frame kenangan yang meluruhkan butiran-butiran kristal itu dari singgasananya.

“Belum tidur sayang?” sebuah suara mengagetkanku.

Aku buru-buru menyeka air mataku. Aku tak boleh larut dalam kesedihanku.

“Sebentar lagi Bu.” ujarku pada wanita yang tak henti-hentinya menyayangiku.

“Kamu menangis?” tanyanya menyelidiki.

Tangan yang merawatku sejak aku bayi itu, menyapu sisa air mata yang membekas di pipiku.

“Aku merindukan semuanya, Bu! Aku ingin pulang! jawabku terisak.

“Ibu juga sayang. Tapi mungkin ini keputusan yang terbaik! Percayalah, keputusan yang diambil Ayahmu bukanlah keputusan mudah. Ayah juga pasti merasakan hal yang sama. Namun, ayahmu melakukan semua ini untuk masa depanmu, kakakmu dan juga calon adikmu!”

Ujar Ibu seraya memelukku erat. Air matanya juga perlahan menuruni tulang pipinya.

“Akankah kita kembali ke sana?” ujarku.

“Entahlah sayang. Hari esok masih penuh teka-teki!”


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini