Detail Berita

TRAGEDI 1999 (Bagian 1)

Jumat, 4 Maret 2022 09:48 WIB
331 |   -

(Ibu Diana Maria Adriana; Guru Bahasa Indonesia di SMPK St. Aloysius Niki-Niki.Ia terkenal dengan nama pena: KRIWULITA. Ia adalah lulusan Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia banyak menulis cerpen dan puisi serta kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisannya akan dipublikasikan dalam berita sekolah ini. Kiranya mengispirasi para pembaca, terutama peserta didik agar bisa mengembangkan bakat menulis)

 

Prolog

***

Kala itu, aku masihlah gadis kecil yang belum mengerti apa-apa. Ketika Ayah pulang dari kantor dengan gurat cemas tergambar di wajah lusuhnya.

“Cepat kemasi barang-barang kita!” ujar Ayah kepada Ibu.

Seakan paham dengan perintah Ayah, tanpa menunggu lama Ibu mengemasi barang-barang kami. Dengan lugunya, aku pun turut membantu. Kulihat Ibu menjatuhkan bulir bening di ujung matanya. Ia tetap berkemas dalam tangis. Sementara Ayah sedang melakukan pertemuan singkat dengan beberapa orang. Entahlah, apa yang mereka perbincangkan. Tampaknya sesuatu yang serius. Dalam remang-remang malam, mataku yang jeli dapat menangkap secerca kegelisahan di sana. Mulut Ayah seakan enggan bediplomasi dengan orang-oang itu.

“Ibu, mengapa kita berkemas? Apakah kita akan berlibur? ujarku pada Ibu yang masih berkemas.

“Iya sayang, kita akan melakukan perjalanan jauh.” jawab Ibu dengan masih menyortir surat-surat penting Ayah.

“Tapi mengapa Ibu menangis?” tanyaku seraya menghapus air matanya.

“Kita akan pergi ke negeri yang jauh sayang.”

 

November, 1999

Aku terbangun ketika mentari pagi menyengat kulit hitamku. Kurasakan angin Timur menerbangkan rambut ikalku. Perutku bergolak ingin memuntahkan isi dalam perutku. Kepalaku masih terasa pusing. Gelombang laut seakan membuatku seperti orang mabuk. Mataku berputar seakan tak bisa melihat dengan sempurna. Keadaanku belum benar-benar pulih. Kulihat di anjungan kapal, bendera merah putih berkibar seakan mengucapkan salam perpisahan kepada bumi yang kutinggalkan. Aku bangkit berdiri untuk menetralisir kepalaku yang pusing sejak hari pertama menaiki kapal perang angkatan laut yang membawa kami. Aku memilih berdiri di tepi kapal. Kami di atas ketinggian permukaan laut. Di permukaan laut kulihat sekumpulam lumba-lumba berlomba mengikuti lajunya kapal. Kami sudah menjauh bermil-mil dari bumi kami. Aku menyelidiki keadaan sekelilingku. Dek tempat kami tinggal terlalu terlalu luas.  Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang-orang itu  semua terasa asing bagiku, sama seperti perasaanku. Aku merasa asing dengan keadaan. Bumiku tempat aku menikmati indahnya hari tak lagi terlihat. Canda-tawa bersama teman-temanku tak lagi menyapa. Semua terasa begitu jauh, terhalang oleh lautan luas ini. Tak kudapati Ayah dan kakakku. Hanya Ibu yang duduk di ujung pembatas itu. Pandangannya lurus ke depan. Memandangi bumi kami yang tertinggal jauh. Kulihat bulir bening mendarat di pipi kusamnya. Ia mungkin mengingat keluarga yang tertinggal di sana. Mengenang semua kenangan itu. Serpihan-serpihan kenangan itu seakan membuat rasa ingin kembali. Kudekati wanita penuh kasih sayang dan cinta itu. Kurebahkan tubuh mungilku dalam pangkuannya. Sontak ia kaget dan menghapus air matanya.

“Sudah bangun puteri kecilku?” ujarnya seraya mengelus rambut pirangku.

“Ibu menangis?” balasku menatap dalam mata sendunya.

“Tidak sayang. Angin yang menerpa terlalu kencang. Mata Ibu sedikit berair.” ujarnya berusaha menyembunyikan kesedihannya.

“Aku lapar.” balasku memelas sambil memegangi perut kosongku.

“Sabar ya sayang. Ayah dan Kakakmu sedang mengambil sarapan.”

Aku hanya mengangguk.

Aku tahu Ibu berbohong. Sejak Ayak memerintahkan untuk mengemasi barang-barang kami, Ibu terlihat berbeda. Wajahnya seakan dirundung duka. Ibu tak seceria seperti dulu. Ibu banyak memendam perasaannya. Aku tak tahu bagaimana mengembalikan senyum ceria Ibu.

 “Hai adik kecil, bagaimana kabarmu?” ujarku sambil mengelus perut buncit Ibu. Ku tempelkan kedua kupingku pada perut Ibu yang menyeruapai balon udara itu. Ibu hanya tersenyum melihat aksiku.

“Apa kamu capai menempuh perjalanan sejauh ini?” lanjutku.

Sebuah tendangan kecil mengagetkanku. Tendangan kecil itu seakan memberikan jawaban atas pernyataanku.

“Owh, tendangan yang sempuran adik kecil.” ujarkan seraya memberikan tepuk tangan.

“Sarapan datang.” ujar sebuah suara yang sangat familiar.

“Cepat aku sudah lapar. Perutku sudah tak bisa diajak kompromi!” ujarku seraya menyambar bungkusan nasi dalam genggaman kakakku. Tanpa banyak kata kubuka bungkusan yang menebarkan aroma yang berhasil membuatku menelan saliva. Aku makan dalam diam. Tak berapa lama, bungkusan itu kosong tak berjejak.

“Air mana? Haus.” ujarku membuyarkan pandangan mereka yang sedari tadi memerhatikanku menikmati sarapan pagiku.

Ibu menyodorkan segelas air putih. Kuteguk sampai habis.

“Sudah kenyang?” ujar lelaki yang terpaut tiga tahun denganku itu.

Hanya sebuah anggukkan dapat  kuberikan untuknya. Rasa kenyang yang kurasakan seakan menyulitkanku untuk berbicara.

“Mama juga makan ya! Kasihan ade dalam perut Mama!” ujar Kakakku.

“Mama belum lapar. Kamu makan saja dulu!”

Kulihat wajah Mama yang begitu lesuh. Namun tak ada selera makan sama sekali. Ia masih merasa belum ikhlas dengan keputusan Ayah yang seakan memihak. Ia belum rela harus meninggalkan kakak sulungku di sana.


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini