Masih terbayang dalam benakku, kala itu bulan pertama, minggu pertama, rinai hujan berlomba menyentuh di bumi. Hari itu jadwal aku mengecek usia kehamilanku yang sudah memasuki trimester ketiga. Aku sedang mengandung calon buah hatiku yang pertama. Sebagai calon orangtua baru, tentulah aku sangat bahagia dan antusias menyambut kelahiran penyempurna hidupku itu. Aku sangat memerhatikan setiap intruksi dari bidan dan dokter yang mananganiku.
Ketika tiba di halaman puskesmas, suamiku memarkirkan motornya di tempat parkir yang sudah dipenuhi kendaraan beroda dua. Sementara aku langsung menuju loker mengambil nomor antrian. Karena kami datang sedikit terlambat, sehingga mendapat nomor antrian 64. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya giliranku.
“Nyonya Maria” terdengar sebuah suara.
Aku langsung menuju sumber suara. Seorang bidan muda nancantik dengan senyum bersahabat menyapaku dengan lembut.
“Nyonya Maria?” sapanya.
“Iya.” balasku.
“Mari Bu!”
Aku pun mnegikuti langkah kaki ibu bidan itu. Kami memasuki sebuah ruangan yang terpampang tulisan KIA di pintu masuk. Ruagan itu ukurannya tidak terlalu luas. Dalam ruangan ukuran 4X4 itu, ada seorang ibu bindan yang jika kutebak usianya sepantaran dengan ibuku. Kerutan di wajahnya tak mengurangi paras cantiknya. Bidan senior itu pun tak kala ramahnya.
“Silakan Bu!” ujar bidan muda yang tadi melafalkan namaku.
Aku langsung menuju benda yang katanya dapat mendeteksi berat badan seseorang itu.
Setelah melepas alas kaki yang kupakai , kuangkat kaki kanan, lalu diikuti kaki kiriku. Ketika kedua posisiku sudah berada di atas benda itu, mataku langsung mengikuti arah jarum jam..
“Oh, Tuhan!” gumamku, ketika arah jarum jam berhenti berputar.
“Berapa berat badannya, Bu?” ujara ibu bidan memakai kerundung itu siap mengajukan beberapa pertanyaan seperti biasanya.
“69.” Ujarku sembari memakai kembali sandalku.
Setelah selesai dengan benda itu. Bidan muda itu mempersilakan aku duduk. Ia melingkarkan tensimeter pada lengan kiriku untuk mengecek tensi darahku. Setelah menyelesaikan aksinya, ia mencatat hasil tensiku dalam buku. Sebelumnya, ia melakukan aksi, aku mendengar dengan jelas deru nafasku yang memburu.
Entahlah, aku tidak begitu menyukai atribut-atribut yang setiap bulannya selalu .
Setelah selesai menensi darahku. Akupun diminta menaiki hospital bed yang berada tidak jauh dari tempat dudukku. Karena ranjang pasiennya cukup tinggi, maka aku sedikit kesusahan untuk mecapai puncak ranjang pasien. Bidan muda itu seakan paham dengan situasi, ia kemudian mengambil tangga kecil di bawah hospital bed dan meletakkannya tepat di depanku.
“Terima kasih”. Ujarku dengan senyuman terbaikku.
Setelah posisiku sudah terlentang di atas hospital bed. Ibu bidan mulai mengolesi perut buncitku dengan gel. Kemudian ditempelkan doppler dengan menggesernya ke kiri dan ke kanan sesuai dengan posisi jantung janin dalam perutku. Aku merasa tidak nyaman karena seperti sedang digelitik.
Selang bebera detik, telingaku menangkap sebuah suara, yang katanya detak jantung janinku.
“Ibu bisa mendengarnya?” tanya ibu bidan
Aku menjawab dengan anggukan kepala.
“Detak jantungnya bagus, Bu.”
Setelah ia mengangkat benda itu, ia membersihkan perutku dari jel-jel tadi. Ia lalu menyodorkan tisu kepadaku.
Ketika aku berusaha untuk turun dari ranjang pasien, matanya langsung tertuju pada kedua kakiku.
“Kaki Ibu bengkak?” ujarnya sambil mengamati kedua kakiku yang memang membengkak.
“Ibu bisa langsung ke laboratorium untuk tes urine?” ujarnya.
Tiba-tiba raut wajahku berubah. Ketakutan yang sedari tadi mengitai mulai menujukkan wujudnya.
“Aku dan janinku baik-baik sajakan, Bu? Ujarku dengan suara bergetar.
“Tentu saja, Bu. Tapi kita harus memastikan dengan melakukan tes laboratorium. Seakan paham dengan katakutan yang tengah menyergapku, ia pun memberikan kata-kata penguat.
“Kaki bengkak pada masa kehamilan memang normal, tapi kita perlu memeriksanya. Ujarnya kemudian.
“Baik Bu.”
Aku pun langsung keluar dari ruang KIA. Aku langsung mencari suamiku. Ketika melihatku, ia langsung menghampiriku.
“Sudah selesai?” ujarnya ketika posisi kami berhadapan.
“Belum. Harus tes urine.” Balasku.
“Kenapa? Apa ada masalah?” ujarnya.
Nampak jelas kecemasan tergambar di wajah kurusnya.
“Semoga tidak terjadi masalah yang serius” jawabku berusaha tenang.
“Aku langsung memasuki ruang laboratorium yang bersebelahan dengan ruangan KIA
Seakan sudah paham dengan kehadiranku. Petugas langsung menyerahkan wadah kecil kepadaku.
“Silakan isi urinnya di sini!”
Aku langsung menuju ke toilet. Setelah selesai, aku kembali ke ruang laboratorium dan menyerahkan wadah kecil yang telah kuisi dengan urineku.
“Silakan tunggu di luar!” ujar petugas.
Aku menunggu di luar. Aku dan suamiku duduk dalam diam. kami sibuk dengan pikiran masing-masig. Suamiku tahu betul bagaimana aku. Ia memegang erat tanganku. Itulah caranya memberiku kekuatan untuk melawan rasa cemasku. Selang 45 menit kemudian, terdengar namaku dipanggil. Aku yang duduk tak jauh, langsung masuk. Petugas menyodorkan selembar kertas kepadaku.
Sepintas aku membaca isi surat itu, berharap aku menemukan jawaban atas kekwatiranku. Namun hanya kesia-siaana yang kudapat karena aku tak paham dengan istilah-istilah kedoktoren yang tertera di sana. Ditambah lagi dengan coretan petugas laboratorium yang cukup membuat mataku perih.
“Biaya adminitrasi 15.000” ujarnya.
Aku mengambil selembaran uang bergambar seorang wanita sedang memetik daun teh dalam dompetku. Petugas itu memberikan selembar uang lima ribuan. Setelah mengucapakan terima kasih aku keluar. Aku langsung kembali ke ruang KIA. Sebelum masuk aku mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Silakan duduk!” ujar bidan senior.
Kuserahkah selembar kertas yang kudapatkan di ruang laboratorium.
“Dari hasil laporan laboratius ibu positif protein 3.”
“Protein 3?” ujarku meminta penjelasan karena aku tak paham.
“Protein tiga terjadi karena peningkatan kadar kreatinin urin yang normalnya 2,69 mg/dL. Hal ini bisa disebabkan dehidrasi atau kekurangan cairan. Kadarbprotein dalam urine yang berlebihan saat hamil dapat menyebabkan risiko pre-eklampsia, yaitu komplikasi kehamilanIbu yang membahayakan janin dan nyawa ibu."
Setelah itu aku tak lagi mendengar apapun...semuanya gelap...
Jadilah yang pertama berkomentar di sini