(Ibu Diana Maria Adriana; Guru Bahasa Indonesia di SMPK St. Aloysius Niki-Niki.Ia terkenal dengan nama pena: KRIWULITA. Ia adalah lulusan Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia banyak menulis cerpen dan puisi serta kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisannya akan dipublikasikan dalam berita sekolah ini. Kiranya mengispirasi para pembaca, terutama peserta didik agar bisa mengembangkan bakat menulis)
Hari ini weekend, aku bangun pagi seperti biasa. Setelah membersihkan diri, aku mencuci beberapa pakaian dan kujemur di atas balkon. Mata penasaraku mengawasi keadaan sekitar dari atas balkon. Ternyata beginilah kehidupan di kota besar. Rumah-rumah berhimpitaan seakan tak ada jarak sama sekali. Rumah-rumah itu tak memiliki halaman yang luas. Orang-orangnya begitu ramah. Ketika berpapasan, mereka akan menyapa meskipun tak saling mengenal. Itu salah satu budaya yang paling kusukai. Nada suara mereka juga terdengar lembut nan bersahabat. Aku memerhatikan aktivitas orang-orang itu dari atas balkon. Aku masih asing dengan lingkungan yang baru ini. Aku masih butuh penyesuaian. Aku kembali ke kamar ketika kurasa sudah cukup dengan pengamatanku. Tak lupa aku menguci pintu kamar. Kunyalakan telivisi 21 inci yang ada dalam kamar yang kutempati. Itu adalah salah satu media yang dapat membunuh rasa sepiku. Aku merasa sepi di tengah keramaian kota yang masih asing untukku. Aku mulai mengoperasikan remot kontrol dan mencari chanel kesukaanku. Seperti biasa, tak kulewatkan saluran-saluran telivisi yang menyiarkan gosip-gosip artis tanah air. Di tengah keseriusanku, tiba-tiba gawaiku berdering. Di layar handphone tertera nomor tak dikenal memanggil.
“Hallo, selamat pagi!” ujar sebuah suara yang sengaja kuhindari beberapa hari ini.
“Hallo, selamat pagi!” balasku
“Akhirya kamu angkat juga Airin.” terdengar nada lega di seberang.
Aku hanya diam. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku belum siap untuk berbicara dengannya.
“Kamu jahat Rin. Kamu pergi tanpa pamit.” sambung sebuah suara yang sangat familiar.
Suara yang sangat kurindukan. Namun, egoku terlalu tinggi untuk mengakuinya.
“Airin. Apa persahatan kita selama ini tak ada artinya bagi kamu?” imbuhnya.
“Maafkan aku!” ujarku lirih.
“Kamu kenapa Airin? Apa ada yang salah dengan persahabatan kita?”
“Apa yang membuatmu berubah secepat ini?” sambung suara itu. Suara yang membuat merindu.
Kumatikan handphoneku. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menusuk jantungku. Bibirku tak mampu merespon pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikrikanku mulai merekam kembali kenangan kebersamaan kami. Aku sangat menjunjung nilai sebuah persahabatan. Persahabatan yang sudah terjalin selama tiga tahun itu, mana mungki kuingkari. Aku masih sibuk dengan perasaanku yang belum stabil. Mereka berkali-kali menghubungiku setelah kuputuskan hubungan telepon secara sepihak, namun tak kuhiraukan. Aku belum bisa menata hati. Aku belum siap memberikan penjelasan kepada mereka. Aku butuh waktu.
Sejak kelulusan itu, persahabatan kami sepertinya rengang. Di antara kami, hanya aku yang dinyatakan lulus. Sementara mereka harus mengikuti ujian Paket C. Aku merasa tak enak hati karena selama ini kami berjuang bersama dalam suka dan duka. Kami berharap bisa berhasil bersama-sama. Namun, keputusan itu bukan atas kendaliku.
Saat mengurus surat-surat untuk melanjutkan pendidikan di kota ini pun aku tak memberi tahu mereka. Aku tahu itu hanya akan menambah luka di hati mereka. Saat aku sudah di kota ini baru mereka mendapatkan info dan menghubungiku.
Sebelum ujian, ada beberapa pihak universitas yang datang ke sekolah untuk sosialisasi. Semua teman-temanku mulai mengambil formulir dan mendaftar. Ada yang ikut jalur prestasi, ada juga yang jalur umum, sementara aku hanya diam dengan perasaanku.
“Airin, mau lanjut di mana?” tanya kepala sekolah yang sedang bersama orang-orang itu.
“Tidak Pak. Saya lanjutnya tahun depan!” ujarku berbohong.
Aku memang sengaja tidak memberitahukan siapa pun terkait rencana akan kuliah di luar kota, termasuk sahabat-sahabatku.
Terdengar sebuah notifikasi pesan masuk.
Haruskan persahabatan kita berakhir seperti ini Airin? isi pesan masuk itu.
Air mataku turun seperti air terjun di kaki gunung. Air mata yang sejak tadi kubendung, akhirnya luruh membasihi pipiku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku benar-benar belum siap untuk memberi penjelasan.
“Airin.” terdengar sebuah suara dari luar.
“Iya.” balasku seraya menyeka air mataku. Aku melangkah ke luar menemui sumber suara.
Kulihat di ruang tengah, Senior ditemani dua orang berwajah asing. Sang lelaki dapat kutebak dari perawakan kalau dia orang Timur. Sementara sang gadis, aku bisa menyimpulkan bahwa dia orang pribumi.
“Ini Mbak Dani dan Kak Gaspar!” ujarnya memperkenalkan sepasang kekasih itu.
“Airin.” sapaku sambil menjabat tangan mereka. Aku mengambil posisi duduk di hadapan mereka.
“Dia sedikit pemalu. Beda dengan kakaknya ini.” ujar Senior kepada kedua tamunya sambil tersenyum padaku.
“Airin, nanti bisa main-main ke rumah ya!” ujar si wanita muda.
Aku hanya mengangguk tanda menyetujui ajakannya.
“Iya Airin. Nanti aku kenalkan pada ponakan-ponakanku. Mereka ganteng-ganteng.” lanjut si lelaki bertubuh jangkung itu sedikit menggodaku.
Aku hanya tersenyum.
“Rencana mau daftar di mana?”
“Sanata Dharma.” jawabku pendek.
“Jurusan?”
“Bahasa Inggris.”
“Wah, bagus itu!” ujarnya seraya mengangkat kedua jempolnya.
Aku mulai menyukai bahasa Inggris, ketika duduk di bangkus X SMA. Aku begitu terkesima dengan penyampaian materi Mrs. Evi guru Bahasa Inggrisku. Setiap penjelasannya dapat kupahami. Kami seperti berada dalam satu frekuensi yang sama. Nilai-nilai ulangan bahasa Inggrisku selalu di atas 90. Sejak itu aku memutuskan untuk mengambil jurusan Bahasa Inggris saat kuliah nanti.
“Sudah jalan-jalan ke mana saja?” tanya Mbak Dani.
Aku hanya menggeleng.
“Airin harus jalan-jalan ke Malioboro, Alun-Alun dan masih banyak tempat-tempat yang bisa dikunjungi di sini!” imbuhnya.
“Senior ini bagaimana, sibuk pacaran saja tidak ajak Airin jalan-jalan!” sambung Kak Gaspar.
“Rencana nanti mau ke Malioboro!” ujar Senior.
“Rencana bagus itu. Kamu harus ke sana Airin.” balas Mbak Dani.
“Oya, ini ada sedikit oleh-oleh!” tambahnya seraya memberikanku sebuah kantung.
“Terima kasih Kak.” balasku.
“Kalau begitu kami pamit ya. Kami tunggu kunjungannya!” ujar Mbak Dani.
“Jangan kuatir ada Dave keponakan kakak yang bisa menjadi temanmu. Dia juga baru mau mendaftar.” ujar Kak Gaspar.
Aku hanya tersenyum.
“Dah. Kami pulang dulu ya! Sampai jumpa nanti!” ujar mereka meninggalkan ruang tengah.
Aku hanya melambaikan tangan. Senior mengantar mereka ke depan. Tak lama terdengar suara motor. Perlahan menjauh dan menghilang.
“Siap-siap sore kita jalan-jalan!” ujar Senior berlalu meninggalkanku.
Kubawa kantung kresek itu dan masuk ke kamarku. Sudah seminggu ini, aktivitasku hanya makan, membaca buku, nonton, menelpon orangtua, dan tidur. Aku belum melihat dunia luar yang sebenarnya. Aku hanya menghabiskan hari-hariku di kamar. Penghuni kontrakan yang dominan laki-laki itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku hanya ditemani buku-buku dari berbagai jenre di kamarku ini. Buku-buku itu seperti teman sepiku.
***
Jadilah yang pertama berkomentar di sini