Detail Berita

“KADO SEPASANG SEPATU”

Kamis, 24 Februari 2022 20:30 WIB
130 |   -

(Ibu Diana Maria Adriana; Guru Bahasa Indonesia di SMPK St. Aloysius Niki-Niki.Ia terkenal dengan nama pena: KRIWULITA. Ia adalah lulusan Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia banyak menulis cerpen dan puisi serta kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisannya akan dipublikasikan dalam berita sekolah ini. Kiranya mengispirasi para pembaca, terutama peserta didik agar bisa mengembangkan bakat menulis

 

“Kenapa belum berangkat? Nanti terlambat.” ujar Ibu membuyarkan lamunanku.

“Masih menginkat tali sepatu, Bu. Sebentar lagi berangkat” Balasku pura-pura menginkat tali sepatu yang sedari tadi sudah terikat sempurna.

Mata ibu tertuju pada sepatuku yang sudah sobek karena aku terlalu memaksakan kakiku yang semakin padat berisi. Bentuknya seperti mulut buaya yang sedang menganga siap menerkam mangsa. Aku berdiri lalu menyambar tangan Ibu, mencium punggung tanggannya.

“Aku berangkat, Bu!” ujarku berlari menyusuri jalanan.

“Hati-hati. Jangan pulang terlambat!” ujar ibu melepas kepergianku seperti biasa.

Aku tak mampu menoleh ke arah ibu. Netraku sudah penuh dengan air mata yang siap ditumpahkan. Aku menyeka air mataku dengan tapak tanganku dan terus berjalan menuju sekolah yang letaknya cukup jauh karena aku harus berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan aku memikirkan bagaimana nasibku, jika sepatuku benar-benar tidak bisa melindungi kakiku. Apakah aku nyeker ke seekolah?

Ketika tiba di halaman sekaloh, apel pagi sedang berlangsung. Kepala sekolah sedang memberika ceramah. Semua siswa mengambil posisi istirahat dengan pandangan fokus ke arah suara.

Aku menangkap sebuah lambaian tangan yang menyiaratkan, aku menhampirinya. Aku berlari kecil menghampiri lambaian tangan itu.

“Kenapa hari ini terlambat?” Kalimat itu langsung mengarah padaku, ketika posisiku tepat berada di sampingnya.

Hanya terdengar helaan nafasku yang memburu. Belum sempat kujawab, pertanyaan baru terdengar lagi.

“Sepatumu kenapa?”

Aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya menatap pemilik suara itu dengan tatapan.mengibah. Berharap ia tidak bertindak seperti hakim yang tengah memberi sidang.

“Nanti dijahit ya sepatunya!”

Aku hanya menganggukan kepala.

“Jam istirahat, kamu bersihkan toilet!” Sekarang kamu masuk kelas!” ujarnya lalu berlalu meninggalkanku.

Ketika langkah kakiku mendekati ruang kelas, tak kudengar suara-suara bising seperti biasanya. Suasana kelas sunyi seperti tak berpenghuni. Teman-temanku semua duduk pada posisinya. Mata terpejam, mulut komat-kamit seperti sedang membaca mantra.

“Ada apa ini?” ujarku pada teman sebangku ketika aku berada di dekatnya.

“Sudah belajar? Hari ini ada ujian PPKN” ujarnya dengan tetap menutup mata dan melanjutkan ritualnya.

Dengan geragas, aku membuka tas sekolahku yang lusuh dan sudah ada banyak lubang di mana-mana. Tak kalah mengharukannya kedua atributku ini.

Aku pun mengambil posisi duduk dan mulai mengikuti ritual belajar khas kami . Tapi sepertinya otakku sedang tidak bisa diajak berkompromi. Bayang-bayang sepatuku masih mengahantuiku. Satu kalimat pun tak bisa bertahan semenit di benakku.

Hari ini jadwal pelajaran Penjas. Seperti biasanya, kami akan sparing keliling lapangan selama dua putaran. Apakah sepatuku bertahan hingga pelajaran usai? Atau aku akan menjadi bulan-bulanan teman-temanku karena sepatuku seperti mulut buaya kelaparan. Entahlah . . .


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini