(Ibu Diana Maria Adriana; Guru Bahasa Indonesia di SMPK St. Aloysius Niki-Niki.Ia terkenal dengan nama pena: KRIWULITA. Ia adalah lulusan Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia banyak menulis cerpen dan puisi serta kisah-kisah sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisannya akan dipublikasikan dalam berita sekolah ini. Kiranya mengispirasi para pembaca, terutama peserta didik agar bisa mengembangkan bakat menulis)
Suara adzan membangunkanku terlalu pagi. Kulihat gawaiku, menunjukkan pukul 05.25 pagi. Rasa kantuk masih menyerang. Kuangkat badcover motif bunga menyelimuti sekujur tubuhku untuk melanjutkan tidurku. Namun, suara adzan seakan tak memberiku kesemptan memikmati mimpiku. Kubuka netraku yang nampaknya masih enggan terbuka. Perlahan kukucek mataku. Kuperhatikan seisi kamar. Ini bukan kamarku. Kucubit pergelangan tanganku, sakit. Ini bukan mimpi, ini nyata.
Di sudut kamar ada barisan buku-buku yang berjejer rapi. Buku-buku dari berbagai genre. Lukisan Mona Lisa terpapang tepat di atas rak buku. Di balik pintu itu ada poster Che Guevara. Salah satu tokoh revolusi dari Kuba. Aku mengetahui sang penjuang revolusi itu sejak kakak sulungku mulai melukis wajah sang revolusi itu di setiap media yag ada di rumah. Mataku yang jeli tak melewatkan sebuah potret yang sangat akrab denganku. Gambar seorang lelaki berambut ikal panjang yang menyerupai Bob Marley sedang duduk bersila memegang sepiring nasi. Ya, dialah sosok yang mengantarku pada duniaku yang baru.
Ini sungguh berbeda dengan keadaan kamarku yang dipenuhi dengan coretan tangan puisi-puisi murahanku yang menghiasi dinding kamarku.
Dari dalam kamar, telinganku dapat menangkap suara orang-orang dengan bahasa yangs sedikit berbeda. Dari sekian kosakata dalam dialog mereka, mungkin hanya satu atau dua kata yang kupahami.
Tok . . . .Tok . . . Terdengar suara ketukan pintu dari luar.
“Airin, kamu sudah bangun?” ucap sebuah suara.
“Airin!” Terdengar suara yang sama.
Kulihat jam pada gawaiku. Waktu menunjukkan pukul 07.00. Sudah siang rupanya. Bagiku ketika bangun di jam seperti itu sudah kesiangan. Entahlah, mungkin menempuh perjalanan jauh makanya aku benar-benar tidak bisa bangun pagi seperti biasanya. Kupastikan tidak ada belek di netraku, dan kurapikan sedikit rambut ikalku. Kuputuskan keluar kamar menemui sumber suara itu.
“Selamat pagi” ujarku pada lelaki di hadapanku yang tengah menikmati sarapannya.
“Mau minum apa?” ujarnya ketika aku duduk di hadapannya.
“Aku bisa membuatnya sendiri!”
“Teh, susu, atau kopi?” ujarnya kemudian mendekati meja kecil di sudut ruangan.
“Teh. Biar aku saja!” ujarku kemudian.
“Duduklah! Kamu tamu pagi ini. Kamu belum pernah menyicipi teh buatanku kan?” ujarkan seraya memasukan gula ke dalam cangkir dan sehelai teh sari wangi lalu menyeduhnya dengan air panas. Aroma melati memasuki rongga hidungku. Sangat menyenangkan. Aroma itu mengingatkan aku kepadanya. Dia yang mencintaiku dengan tulus.
“Silakan! ujarnya menyodorkan secangkir teh manis lalu melanjutkan sarapannya.
“Terima kasih.” ujarku sembari menyesap teh buatannya.
“Bagiamana?”
“Lumayan!” jawabku pendek.
Aku memutar pandanganku ke seluruh ruangan. Sepi. Ke mana orang-orang yang semalam berpesta itu. Di ruang makan ini hanya aku dan dia. Seakan paham dengan apa yang sedang kupikirkan.
“Mereka masih tidur!” ujarnya memandangiku yang cilungan-cilungu.
“Tidak kuliah?”
“Mungkin hari ini membolos!”
“Kamu harus coba ini. Rasanya enak sekali.” ujarnya menyodorkan sepiring kue dengan aneka varian.
“Aku harus berangkat. Ini peralatan mandi untukmu!. Kamu bisa menelponku jika perlu sesuatu. Sampai bertemu jam makan siang. Ingat, jangan ke mana-mana! ujarnya meninggalkanku. Tak lama kudengar deru suara motor, kemudian menghilang.
Kuambil sepotong kue, dan kumasukkan dalam mulutku. Rasanya benar-benar nikmat. Aku belum pernah merasakan jajanan seenak ini. Tiba-tiba aku teringat lagi padanya. Sosok yang begitu berarti untukku. Di tengah keasyikanku, kudengar suara pintu dibuka. Tanpa aku menoleh ke arah suara itu, namun aku tahu ada langkah kaki mendekatiku.
“Selamat pagi ” sapa sebuah suara.
“Selamat pagi” balasku seraya menoleh ke sumber suara.
Di pintu masuk ke ruang makan, kulihat seorang lelaki berjalan menuju ke arahku. Kepalanya plontos. tubuhnya jangkung. Ia tersenyum ke arahku, memamerkan deretan giginya yang putih. Ada sekumpulan bulu nangkring di atas bibirnya. Semalam, aku diperkenalkan kepada penghuni kontrakan itu, tapi wajah itu sepertinya tak terlihat.
“Saya Oris.” Ujarnya sembari menyodorkan tangannya.
“Airin” ujarku menjabat tangannya. Tangannya lembut bagai sutera.
“Senior sudah berangkat?” ujarnya sambil meneguk air mineral di atas meja.[W1]
“Sudah.” jawabku pendek
“Dia memang tidak pernah membolos”
ki5j5dh“Maaf ya semalam pasti kamu terganggu.”
Aku hanya tersenyum.
“Rencana mau daftar di mana?” tanyanya sambil mendudukan pantatnya persis di depanku. Sepertinya ia akan melakukan wawancara singkat denganku pagi ini. Ia menatapku menunggu jawaban.
“Sanata Dharma?” jawabku meneguk tehku yang sudah dingin hingga habis
“Jurusan?”
“Sastra Inggris” ujarku mengambil sepotong kue.
“Bagus. Memang di Sadhar jurusan Sastra Inggris salah satu yang terbaik. Semoga diterima ya.
“Kalau butuh apa-apa bisa bilang ke saya atau ke anak-anak yang lain! Jangan takut! Kami bukan orang jahat.
“Iya. Terima kasih”
“Silakan dilanjutkan sarapannya. Aku siap-siap dulu. Aku harap kamu betah ya!” ujarnya meninggalkanku.
Kesan pertama bertemu dengannya membuatku sedikit takut. Wajah khas orang Timur dengan barisan bulu-bulu tipis yang menghiasi wajahnya semakin melengkapi kesan sanggar di wajahnya. Walaupun perawakannya berhasil membuat takut, tetapi dia lelaki yang baik. Sopan dan mengayomi.
Setelah menyelesaikan sarapanku. Aku kembali ke kamar. Tak lupa kukunci pintu kamarku. Kuintip dari balik jendela. Aku mnyelediki keadaan sekitar. Orang-orang lalu-lalang. Ada juga kendaraan roda dua yang melintas. Kulihat seorang wanita paru baya memakai kembem sedang menyapu halaman rumahnya yang tak seluas kamarku itu memandang ke arahku. Kuakhiri investigasiku. Kututup jendela yang tadinya kubuka. Kubaringkan tubuh di atas kasur. Mataku memandang langit-langit kamar. Rasanya seperti mimpi aku berada di kota ini. Kemarin aku masih mendengar suara ayam berkokok, pertanda pagi telah menyapa. Aku masih membuatkan sarapan untuk adik-adikku dan juga kopi hitam untuk ayahku. Pikiranku mengembara ke kotaku yang jauh. Wajah-wajah itu bergantian menampakkan diri di hadapanku. Ada perasaan rindu yang membuncah, lalu menjelma menjadi anak sungai yang mengalir tak tahu arah. Aku rindu rumah.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini